KATA
PENGANTAR
Puji syukur
kehadirat ALLAH SWT, yang telah senantiasa melimpahkan Rahmat dan Hidayah- NYA
sehingga kita semua dalam keadaan sehat walafiat dalam menjalankan aktifitas
sehari-hari. Penyusun juga panjatkan kehadiran ALLAH SWT, karena hanya dengan
kerido’an-NYA Makalah dengan judul “POLIVINIL CLORIDA” ini dapat terselesaikan.
Penulis
menyadari betul sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, makalah ini
tidak akan terwujud dan masih jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala
kerendahan hati penulis berharap saran dan kritik demi perbaikan-perbaikan
lebih lanjut.
Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
yang membutuhkan.
Semarang,27 September 2015
Arsitektur
DAFTAR
ISI
HALAMAN COVER…………………………………………………………………………i
KATA
PENGANTAR………….……………………………………………………………ii
DAFTAR ISI……………………………..………………………………………….……….iii
PENDAHULUAN…………………………………………………………………………….1
A.
PROSES DAN POLA PRILAKU MANUSIA………………………………………………..1
B.
DEFINISI BEHAVIOR SETTING…………………………………………………..………..2
C.
POLA PERILAKU………………………………………………………………………….…3
D.
BATAS BEHAVIOR
SETTING………………………………………………………………4
E.
SISTEM
AKTIVITAS……………………………………………………………………...….5
F.
AKTIVITAS DAN
PERILAKU……………………………………………………….………7
G.
BEHAVIOR SETTING DALAM
DESAIN……………………………….…………………..7
H.
TEORI-TEORI ARSITEKTUR
PERILAKU……………………………….…………………9
I.
PRINSIP-PRINSIP PADA TEMA ARSITEKTUR
PERILAKU………………….………....14
J.
MEMENUHI NILAI ESTETIKA, KOMPOSISI,
DAN ESTETIKA BENTUK…………….15
PENDAHULUAN
A.
Proses
dan pola perilaku manusia
Manusia
tidak dapat lepas dari lingkungannya. Setiap aspek dalam kehidupan manusia
selalu berada dalam lingkungan tertentu. Hal ini merupakan salah satu indikasi
bahwa manusia memang tak bisa lepas dari lingkungan.
Pola
perilaku manusia sedikit banyak juga ditentukan oleh keadaan lingkungan
sekitarnya. Lingkungan memiliki peran penting dalam membentuk karakter manusia.
Lingkungan juga dapat menjadi sarana bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya.
Tidur, bekerja, rekreasi, ibadah dan berbagai aktivitas lainnya membutuhkan
ruang atau lingkungan. Dalam pemenuhan kebutuhan tersebut, terlihat adanya pola
perilaku penggunanya. Barker seorang
tokoh psikologi ekologi yang mengembangkan penelitian perilaku individual di
lapangan,bukan di laboratorium seperti pada umumnya perilaku psikologi
tradisional, menelusuri bahwa pola perilaku manusia berkaitan dengan tatanan
lingkungan fisiknya, dan melahirkan konsep ‘tatar perilaku’ (behavior setting).
Behavior
setting terjadi pada pertemuan antara individu dan lingkungannya. Seorang
arsitek melalui pengamatan behavior setting
dalam perencanaan proyek tertentu dapat membantu untuk mengenal system
social dari dalam setting, dalam arti melihat pola-pola perilaku sistematis
yang ditunjukkan oleh penghuni lingkungan tertentu. Dengan demikian, hasil
pengamatan ini dapat memperluas wawasan pengetahuan arsitek tentang manusia
dari perspektif yang berbeda bukan dari teori semata.
B.
Definisi
Behavior Setting
Roger
Barker dan Herbert Wright memakai istilah behavior setting untuk menjelaskan
tentang kombinasi perilaku dan milieu
tertentu, Salah satu contoh, ketika seorang dosen menyiapkan suatu
perkuliahan, atau seorang direktur menyusun agenda rapat tim direksinya, maka
setiap orang bertindak untuk memastikan akan keberadaan suatu behavior setting.
Pada setiap kasus tersebut, direncanakan adanya serangkaian aktivitas bersama
orang lain ketika terdapat sejumlah pola perilaku tertentu yang dikombinasikan
dengan objek tertentu dalam batasan ruang dan waktu tertentu. Behavior setting
didefinisikan sebagai suatu kombinasi yang stabil antara aktivitas, tempat, dan
kriteria sebagai berikut:
1. Terdapat suatu aktivitas yang berulang,
berupa suatu pola perilaku (standing pattern of behavior). Dapat terdiri satu
atau lebih pola perilaku ekstraindividual.
2. Dengan tata lingkungan tertentu
(circumjacent milieu), milieu ini berkaitan dengan pola perilaku
3. Membentuk suatu hubungan yang sama antara
keduanya (synomorphy).
4. Dilakukan pada periode waktu tertentu
Istilah
ekstraindividual menunjukkan fakta
operasional bahwa sebuah setting tidak bergantung hanya pada seorang manusia
atau objek. Dalam setting bisa jadi
dibentuk oleh pengganti karena dalam hal ini tidak ada objek atau lokasi yang
sedemikian pentingnya sehingga tidak tergantikan. Yang penting adalah
konfigurasi secara keseluruhan, bagian per bagian.
Istilah
circumjacent milieu merujuk pada batas
fisik dan temporal dari sebuah setting. Setiap behavior setting berbeda dari
setting lainnya menurut ruang dan waktu. Sementara itu, istilah synomorphic
berarti ‘struktur yang sama’ menunjukkan adanya hubungan antara milieu dan
perilaku.
C.
Pola
Perilaku
Suatu
pola perilaku biasa terdiri dari atas
beberapa perilaku secara bersamaan, antara lain sebagai berikut:
1. Perilaku emosional
2. Perilaku untuk menyelesaikan masalah
3. Aktivitas motorik
4. Interaksi interpersonal
5. Manipulasi objek
Untuk
mengetahui sejauh mana interdependensi antara dua entitas yang masing-masing
mempunyai atribut untuk menjadi behavior setting, dapat dilakukan pengujian
yang ditinjau dari berbagai dimensi, meliputi:
a. Aktivitas
b. Penghuni
c. Kepemimpinan
Dengan
mengetahui posisi fungsional penghuni , dapat diketahui peran sosial yang ada
dalam komunitas tersebut. Di banyak setting, posisi pemimpin dapat dipisahkan
agar dapat dikenali kekuatan-kekuatan lain yang ada yang ikut mengambil bagian
dalam setting tersebut.
d. Populasi
Sebuah
setting dapat mempunyai sedikit atau
banyak partisipan. Komunitas dianggap lebih baik apabila memiliki banyak
setting.
e. Ruang
Ruang
tempat terjadinya setting tentu sangat
beragam, bisa di ruang terbuka atau ruang tertutup
f. Waktu
Kelangsungan
sebuah setting dapat terjadi secara
rutin atau sewaktu-waktu saja. Misalnya, apel pagi tentara yang dilakukan
setiap pagi atau sebuah perayaan upacara tujuh belas Agustus.
Durasi
pada setting yang sama dapat berlangsung sesaat atau terus menerus sepanjang
tahun, misalnya pertokoan.
g. Objek
h. Mekanisme perilaku
Barker
menguraikan sebelas pola aksi dalam setting, yang dapat segera diamati atau
dicatat, ada ataupun tidak ada dalam setting tersebut, yaitu berkaitan dengan
Estetika, Bisnis, Pendidikan, Pemerintahan, Nutrisi, Aksi social, Penampilan
personal, Kesehatan masyarakat, Professional, Rekreasi ,Religious.
D.
Batas Behavior S setting
Batas
suatu behavior setting adalah dimana
perilaku tersebut berhenti. Ada beberapa kemungkinan untuk pembatas ini. Batas
yang ideal adalah batas yang jelas seperti sebuah
dinding
massif. Dinding pembentuk batas yang jelas merupakan batas akhir suatu
setting dan batas awal setting lainnya.
Apabila batas dari suatu behavior setting
tidak jelas maka masalah yang muncul adalah tidak jelasnya pemisahan
aktivitas, terutama apabila sebagian aspek dalam pola perilaku harus dipisahkan
dengan yang lainnya. Misalnya aktivitas didalam ruang kelas ketika pemisahan visual antara beberapa aktivitas
mungkin tidak perlu dilakukan , tapi pemisahan secara audial menjadi sangat
diperlukan.
Kadang-kadang
juga terjadi bentrokan antara nilai estetika arsitek dan kebutuhan demi
kelangsungan sebuah aktivitas, antara ideology bagaimana seharusnya sesuatu
ditata menurut arsitek perancangnya dan kenyataan perilaku manusia penggunanya.
Misalnya, dalam perancangan ruang kerja. Idealisme membuat ruang kerja terbuka
dengan tatanan ala lansekap, akan berhadapan dengan kebutuhan dan preferensi
penggunanya, terutama dalam berinteraksi dengan sesama. Kerap kali ruang kerja
itu dirancang lebih fleksibel daripada fleksibilitas perilaku manusianya.
Sebaliknya terlalu banyaknya dinding pembatas juga akan menimbulkan masalah
bagi penggunanya karena sukarnya pengguna berinteraksi dengan sesama.
Dari
uraian mengenai behavior setting
tersebut jelas bahwa beberapa objek berfungsi membentuk batas spasial
dan objek lain berfungsi mendukung pola aktivitas yang terjadi didalamnya.
E.
Sistem
Aktivitas
Sistem
aktivitas dalam sebuah lingkungan terbentuk dari rangkaian sejumlah behavior
setting.Sistem aktivitas seseorang menggambarkan motivasi, sikap, dan
pengetahuannya tentang dunia dengan batasan penghasila, kompetensi, dan
nilai-nilai budaya yang bersangkutan (Chapin dan Brail,1969;Porteus,1977).
Dalam
pengamatan behavior setting,dapat dilakukan analisis melalui beberapa cara
antara lain sebagai berikut:
1. Menggunakan time budget
2. Melakukan sensus
Hal yang
dapat mewakili data pengamatan behavior setting meliputi:
(i)
Manusia (siapa yang dating,kemana dan
mengapa, siapa yang mengendalikan setting?)
(ii)
Karakteristik ukuran (berapa banyak
orang per jam ada di dalam setting, bagaimana ukuran setting secara fisik,
berapa sering dan berapa lama setting itu ada?)
(iii) Objek (ada berapa banyak objek, dan apa jenis
objek yang dipakai dalam setting,kemungkinan apa saja yang ada bagi stimulasi,
respon, dan adaptasi?)
3. Studi Asal dan Tujuan
Studi
asal dan tujuan adalah suatu studi yang mengamati, mengidentifikasi awal dan
akhir pola-pola pergerakan. Studi semacam ini menggambarkan pola perilaku yang
sesungguhnya terjadi, bukan hanya seperti yang dibayangkan oleh arsitek,
melainkan yang membentuk kehidupan seseorang atau sekelompok orang.Studi asal
dan tujuan merupakan pendekatan makro yang dapat diterapkan pada skala urban
atau skala bangunan.
Rancangan
yang dibuat semata-mata berdasarkan imajinasi arsitek yang sering kali menjadi
rancangan yang ideal bagi arsitek, tetapi mungkin miskin akanaffordances dan
peluang-peluang bagi seorang pengguna untuk memenuhi kebutuhannya.
Ada
hubungan timbale balik antara individu dan system perilaku yakni karena manusia
adalah bagian dari behavior setting yang memberi kontribusi pada behavior
setting. Akan tetapi ia juga didukung oleh behavior setting dalam berperilaku.
F.
Aktivitas dan perilaku
Behavior
setting sebagai suatu kesatuan cenderung lebih memaksa dibandingkan dengan pola
perilaku atau milieu itu sendiri. Disini, Barker, sebagai pencetus konsep
behavior setting mengemukakan gagasan yang kontradiktif. Disuatu sisi, ia
mengatakan bahwa lingkungan non social, lingkungan ekologi, bukanlah demand
behavior. Akan tetapi, disisi lain, ia menerima konsep psikologi Gestalt
mengenai persepsi physiognomic, yaitu milieu
mempunyai demand quality. Ada tuntutan tertentu seperti ruang terbuka
yang merancang seorang anak untuk berlarian. Hal ini dijelaskan dalam konsep
Kurt Lewin mengenai kualitas yang mengundang (invitational quality)
G.
Behavior
setting dalam desain
DAlam
berbagai argumentasi dikatakan bahwa desain behavior setting yang baik adalah yang sesuai atau pas dengan
struktur perilaku penggunanya. Desain arsitektur disebut suatu proses
argumentatif. Argumentasi dilontarkan dalam membuat desain yang dapat
diadaptasikan, fleksibel, atau terbuka (open ended). Edward Hall
mengidentifikasi tiga tipe dasar pola ruang sebagai berikut:
1. Ruang Berbatas Tetap (fixed feature space)
Ruang
berbatas tetap dilingkupi oleh pembatas yang relative tetap dan tidak mudah
digeser, seperti dinding massif, jendela, pintu, lantai.
2. Ruang Berbatas semitetap (semifixed feature
space)
Ruang
yang pembatasnya bisa berpindah. PAda rumah-rumah tradisional Jepang misalnya,
dinding dapat digeser untuk mendapatkan setting
yang berbeda sesuai dengan kebutuhan dan pada waktu yang berbeda.
Ruang-ruang pameran yang dibatasi oleh partisi yang dapat dipindahkan ketika
dibutuhkan setting yang berbeda.
3. Ruang Informal
Ruang
yang terbentuk hanya untuk waktu singkat., seperti ruang yang terbentuk ketika
dua atau lebih orang berkumpul. Ruang ini tidak tetap dan terjadi diluar
kesadaran orang yang bersangkutan.
H. Teori-teori Tema
Arsitektur perilaku
a. Menurut Donna P. Duerk
dalam
bukunya yang berjudul Architectural Programming dijelaskan bahwa :
“…that
people and their behavior are part of a whole system that includes place and
environment, sunch that behavior and environment cannot be empirically
separated. That is to say, human behavior always happen in a place and they
cannot be fully evaluated without considering the environmental influence.”
(…bahwa
manusia dan perilakunya adalah bagian dari system yang menempati tempat dan
lingkungan tidak dapat dipisahkan secara empiris. Karena itu perilaku manusia
selalu terjadi pada suatu tempat dan dapat dievaluasi secara keseluruhan tanpa
pertimbangan factor-faktor lingkungan)
1. Lingkungan yang mempengaruhi perilaku
manusia.
Orang
cenderung menduduki suatu tempat yang biasanya diduduki meskipun tempat
tersebut bukan tempat duduk. Misalnya: susunan anak tangga didepan rumah,
bagasi mobil yang besar, pagar yang rendah dan sebagainya.
2. Perilaku manusia yang mempengaruhi
lingkungan
Pada saat orang cenderung memilih
jalan pintas yang dianggapnya terdekat dari pada melewati pedestrian yang
memutar. Sehinga orang tersebut tanpa sadar telah membuat jalur sendiri meski
telah disediakan pedestrian.
b. Menurut Y.B Mangun Wijaya dalam buku Wastu
Citra.
Arsitektur
berwawasan perilaku adalah Arsitektur yang manusiawi, yang mampu memahami dan
mewadahi perilaku-perilaku manusia yang ditangkap dari berbagai macam perilaku,
baik itu perilaku pencipta, pemakai, pengamat juga perilaku alam sekitarnya.
Disebutkan pila bahwa Arsitektur adalah penciptaan suasana, perkawinan guna dan
citra. Guna merujuk pada manfaat yang ditimbulkan dari hasil rancangan. Manfaat
tersebut diperoleh dari pengaturan fisik bangunan yang sesuai dengan fungsinya.
Namun begitu guna tidak hanya berarti manfaat saja, tetapi juga mengahsilkan
suatu daya yang menyebabkan kualitas hidup kita semakin meningkat. Cita merujuk
pada image yang ditampilkan oleh suatu karya Arsitektur. Citra lebih berkesan
spiritual karena hanya dapat dirasakan oleh jiwa kita. Citra adalah lambing
yang membahasakan segala yang manusiawi, indah da agung dari yang menciptakan
(Mangunwijaya, 1992).
Dari
pernyataan di atas dapat dikatakan baha mencapa guna dan citra yang sesuai
tidak lepas dari berbagai perilaku yang berpengaruh dalam sebuah karya, baik
itu perilaku pencipta, perilaku pemakai, perilaku pengamat juga menyangkut
perilaku alam dan sekitarnya. Pembahasan perilaku dalam buku wastu citra
dilakukan satu persatu menurut beragamnya pengertian Arsitektur, sebagai
berikut :
1. Perilaku manusia didasari oleh pengaruh sosial
budaya yang juga mempengaruhi terjadinya proses Arsitektur.
2. Perilaku manusia yang dipengaruhi oleh
kekuatan religi dari pengaruh nilai-nilai kosmologi.
3. Perilaku alam dan lingkungan mendasari
perilaku manusia dalam berArsitektur.
4. Dalam berArsitektur terdapat keinginan
untuk menciptakan perilaku yang lebih baik.
c. Menurut Garry T. More dalam buku
Introduction to Architecture.
Istilah perilaku diartikan
sebagai suatu fungsi dari tuntutan-tuntutan organism dalam dan lingkungan
sosio-fisik luar. Penkajian perilaku menurut Garry T. More diakitkan denga
lingkungan sekitar yang lebih dikenal sebagai pengakjian lingkungan-perilaku. Adapun
pengkajian lingkungan_perilaku
seperti yang dimaksudkan oleh Garry T. More terdiri atas definisi-defenisi
sebagai berikut :
1. Meliputi penyelidikan sistematis tentang
hubungan-hubungan antara lingkungan dan perilaku manusia dan penerapannya dalam
proses perancangan.
2. Pengakjian lingkungan-perilaku dalam
Arsitektur mencakup lebih banyak dari pada sekedar fungsi.
3. Meliputi unsure-unsur keindahan estetika,
diaman fungsi bertalian denga perilaku dan kebutuhan oang, estetika bertalian
dengan pilihan dan pengalaman. Jadi estetika formal dilengkapi dengan estetika
hasil pengalaman yang bersandar pada si
pemakai.
4. Jangkauan factor perilaku lebih mendalam,
pada psikologi si pemakai bangunan , kebutuhan interaksi kemasyarakatan,
perbedaan-perbedaan sub budaya dalam gaya hidup dan makna serta simbolisme
banguan.
5. Pengkajian lingkungan-lingkungan juga
meluas ke teknologi, agar isyarat-isyarat Arsitektur dapat memberikan
penampilan kemantapan atau perlindungan.
d. Menurut Victor Papanek
Bahwa
dalam telaah-telaah lingkungan dalma arsitektur, harus dipahami dua kerangka
konsep yang satu menjelaskan jajaran informasi lingkungan perilaku-perilaku
yang tersedia, dan yang lain memperhatikan diaman proses perancangan informasi
lingkuangan perilaku paling mempengaruhi pengambilan keputusan Arsitektur
Faktor
–faktor dalam prinsip Arsitektur perilaku.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi dalam prinsip-prinsip perilaku pengguna bangunan (snyder,
james C, 1989) antara lain :
1. Factor manusia
a. Kebutuhan dasar.
Manusai
mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar antara lain :
1. Physicological need
Merupakan
kebutuhan dasar manusia yang bersifat fisik. Misalnya makan, minum, berpakaian
dan lain-lain yang berhubungan denga factor fisik.
2. Safety need.
Kebutuhan akan rasa aman terhadap
diri dan lingkungan baik secara fisik maupun psikis, secara fisik seperti rasa
aman dari panas, hujan dan secara psikis seperti aman dari rasa malu, aman dari
rasa takut dan sebagainya.
3. Affilitation need.
Kebutuhan
untuk bersosialisasi, berinteraksi dan berhubungan degan orang lain.
Affilitation need sebagai alat atau sarana untuk mengekspresikan diri dengan
cara berinteraksi dengan sesamanya.
4. Cognitive/Aestetic need.
Kebuthan
untuk berkreasi, berkembang, berfikir dan menambah pengetahuan dalam menentukan
keindahan yang dapat membentuk pola prilaku manusia.
b. Usia
Manusia
sebagai pengguna pada bangunan memiliki tahapan usia yang akan sangat
berpengaruh terhadap rancangan. Manusia dibedakan atas :
1. Balita
Kelompok
ini merupakan kelompok usia yang belum mampu mengerti kondisi keberadaan diri
sendiri, merek masih mengenal perilaku-perilaku sosial yang ada disekitarnya.
2. Anak-anak
Kelompok
usia ini memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi, dan mereka cenderung
kreatif.
3. Remaja
Kelompok
usia ini mereka sudah memiliki kepribadian yang stabil dan mantap.
4. Dewasa
Untuk
usia ini mereka sudah memiliki kepribadian yang stabil dan mantap.
5. Manula
Pada
kelompok ini kemampuan fisiknya telah banyak berkurang.
c. Jenis kelamin
Perbedaan
jenis kelamin akan mempengaruhi perilak manusia dan mempengaruhi dalam proses
perancangan atau desain. Misalnya pada kebutuhan ruang antara pria dan wanita
pasti akan memiliki kebutuhan ruang yang berbeda-beda.
d.
Kelompok pengguna
Perbedaan
kelompok pengguna dapat pertimbangan dalam perancangan atau desain, karena tiap
bangunan memiliki fungsi dan pola yang berbeda karena factor pengguna tersebut.
Misalnya gedung futsal denga gedung tennis tidak dapat disamakan karena
kelompok penggunanya yang berbeda.
e. Kemampuan fisik
Tiap
individu memiliki kemampuan fisik yang berbeda-beda, di pengaruhi pula oleh
usia dan jenis kelamin. Umumnya kemampuan fisik berkaitan degan kondisi dan
kesehatan tubuh manusia. Orang yang memiliki keterbatasan fisik atau cacat
tubuh seperti berkursi roda, buta, tuli, dan cacat tubuh lainnya harus menjadi
bahan pertimbangan dalam desain atau perancangan.
f. Antropometrik
Adalah
proporsi dan dimensi tubuh manusia dan karakteristik-karakteristik fisiologis
lainnya dan kesanggupan-kesanggupan relatif terhadap kegiatan manusia yang
berbeda-beda dan mikro lingkunga. Misalnya, tinggi meja dan lemari yang
disesuaikan denga pengguna.
I. Prinsip-prinsip pada tema
arsitektur Perilaku
Prinsip-prinsip
tema arsitektur perilkau ynag harus diperhatikan dalam penerapan tema
arsitektur perilaku menurut Carol Simon Weisten dan Thomas G David antara lain
:
1. Mampu berkomunikasi dengan manusia dan
lingkungan :
Rancangan
hendaknya dapat dipahami oleh pemakainya melalui penginderaan ataupun
pengimajinasian pengguna bangunan. Bentuk yang disajikan oleh perancang dapat
dimengerti sepenuhnya oleh pengguna bangunan, dan pada umunya bentuk adalah
yang paling banyak digunakan sebagai media komunikasi karena bentuk yang paling
mudah ditangkap dan dimengerti oleh manusia. Dari bangunan yang diamati oleh
manusi syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah :
a. Pencerminan fungsi bangunan
Symbol-simbol
yang menggunakan tentang rupa banguna yang nantinya akan dibandingkan dengan
pengalaman yang sudah ada, dan disimpan kembali sebagai pengalaman baru.
b. Menunjukan skala da proporsi yang tepat
serta dapat dinikmati.
c. Menunjukkan bahan dan struktur yang akan
digunakan dalam bangunan.
2. Mewadahi aktivitas penghuninya dengan
nyaman dan menyenangkan.
a. Nyaman berarti nyaman secara fisik dan
psikis. Nyaman secara fisik berarti kenyamanan yang berpengaruh pada keadaan tubuh manusia secara langsung
seperti kenyamanan termal. Nyaman secara psikis pada dasarnya sulit dicapai
karena masing-masing individu memiliki standart yang berbeda-beda untuk
menyatakan kenyamanan secara psikis.
b. Menyenangkan secara fisik bias timbul
dengan adanya pengolahan-pengolahan pada bentuk atau ruangan yang ada disekitar
kita. Menyengkan secara fisiologis bias timbul denga adanya kenyamanan termal
yang diciptakan lingkungan sekitar terhadap manusia. Menyenangkan secara
psikologis bias timbul denga adanya ruang terbuka yang merupakan tuntutan atau
keinginan manusia untuk bias bersosialisasi. Menyenangkan secara kultural bias
timbul denga adanya penciptaan karya arsitektur dengan gaya yang sudah dikenal
oleh masyarakat yang berada di tempat itu.
J. Memenuhi
nilai estetika, komposisi dan estetika bentuk.
Keindahan
dalam Arsitektur harus memiliki beberapa unsure, antara lain ;
1. Keterpaduan (unity)
Yang
berarti tersusunnya beberapa unsure menjadi satu kesatuan yang utuh dan serasi.
2. Keseimbangan
Yaitu
suatu nilai yang ada pada setiap objek u=yang daya tarik visualnya haruslah
seimbang.
3. Proporsi
Merupakan
hubungan tertentu antara ukuran bagian terkecil dengan ukuran keseluruhan.
4. Skala
Kesan
yang ditimbulkan bangunan itu mengenai ukuran besarnya. Skala biasanya
diperoleh dengan besarnya bangunan dibandingkan dengan unsure-unsir manusiawi
yang aa disekitarnya.
5. Irama
Yaitu
pengulangan unsur-unsur dalam
perancangan bangunan. Seperti pengulangan garis-garis, lengkung, bentuk
masif, perbedaan warna yang akan sangat mempengaruhi kesan yang ditimbulkan dari
perilaku pengguna bangunan.
JW Marriott Atlantic City to Resume First Resorts Casino
BalasHapusJW 김제 출장샵 Marriott Atlantic City Resorts Casino & Hotel will 남원 출장마사지 not 광주광역 출장마사지 reopen its Resorts casino. The resort will resume the casino operations in 제주도 출장마사지 January. 광주광역 출장안마